Saturday, October 30, 2010

Bila Warisan Tidak Mencukupi Untuk Membayar Hutang

Oleh: Ustadz Abu Humaid Arif Syarifuddin

Di dalam kehidupan sehari-harinya seseorang tidak terlepas dari beban
dan tanggungan. Di antara tanggungan yang mungkin menimpanya ialah
hutang. Terutama ketika kondisi yang mendesak dan amat membutuhkan, atau
kondisi-kondisi lainnya. Baik hutang tersebut terkait dengan hak
manusia ataupun yang terkait dengan hak Allah. Islam sebagai agama yang
sempurna telah mengatur masalah ini, sebagaimana telah tertuang dalam
Kitabullah maupun Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Adapun yang terkait hak manusia, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam sendiri pernah berhutang. Seperti pernah diceritakan oleh Aisyah
Radhiyallahu 'anha.

"Artinya : Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah membeli
makanan dari seorang Yahudi dengan harga pembayaran dibelakang (hutang)
dan memberi jaminan dengan baju besi milik beliau" [Hadits Riwayat
Bukhari 2386 -Fathul Bari- dan Muslim 1603]

Hadits tersebut menunjukkan adanya dalil bolehnya bermuamalah dengan
ahli dzimmah (kafir dzimmi), dan boleh memberi suatu jaminan untuk
hutang di saat mukim.[1]

Meski Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berhutang, beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam adalah orang yang senantiasa ingin bersegera dalam
membayar hutangnya dan melebihkan pembayarannya. Jabir Radhiyallahu
'anhu mengisahkan.

"Artinya : Aku mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika
beliau di Masjid -Mis'ar (perawi dalam sanad) berkata : Saya kira ia
menyebut waktu Dhuha-. Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki
hutang kepadaku. Maka beliau melunasinya dan memberiku tambahan".
[Hadits Riwayat Al-Bukhari 2394 -Fathul Bari- dan Muslim 715]

Demikianlah seharusnya setiap muslim mencontoh Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam. Sehingga, hutang yang menjadi tanggungan diri seorang
muslim, hendaknya segera ditunaikan bila telah memiliki harta yang
dapat untuk melunasinya, tidak mengulur-ulurnya, karena hal itu termasuk
bentuk kezhaliman. Hutang ini tetap akan menjadi tanggungannya, sampai
ia mati sekalipun. Jika belum dilunasi, maka ruhnya akan tergantung
sampai terlunasi hutangnya tersebut. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda.

"Artinya : Penguluran (hutang) oleh orang yang mampu (membayar) adalah
kezhaliman" [Hadits Riwayat Al-Bukhari 2400 -Fathul Bari- dan Muslim
1564]

Beliau Shallalalhu 'alaihi wa sallam juga bersabda.

"Artinya : Jiwa (ruh) seorang mukmin tergantung karena hutangnya, sampai
terlunasi" [Hadits Riwayat At-Tirmidzi 1078 dan Ibnu Majah 2413, dari
Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di
dalam Shahihul Jami' 6779]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah tidak mau menyalati jenazah
seseorang, karena si mayit tersebut masih memiliki tanggungan hutang.
Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahu 'anhu menuturkan.

"Artinya : Bahwasanya, pernah dihadapkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam seorang jenazah untuk beliau shalati. Lalu beliau bertanya,
"Apakah dia punya hutang?" Mereka menjawab, "Tidak", maka beliau pun
menyalatinya. Kemudian didatangkan kepada beliau jenazah yang lain, lalu
beliau bertanya, "Apakah dia punya hutang?", Mereka menjawab, "Ya" maka
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Shalatilah teman kalian
ini oleh kalian". Abu Qatadah berkata, "Wahai Rasulullah. Saya yang akan
melunasi hutangnya", maka beliau pun mau menyalatinya" [Hadits Riwayat
Al-Bukhari 2295 -Fathul Bari-]

Jadi, jika seseorang meninggal, di antara hak yang harus ditunaikan
sebelum dilakukan pembagian warisan dari harta yang ditinggalkan untuk
para ahli warisnya ialah melunasi hutang-hutang si mayit bila ia
meninggalkan hutang, baik hutang yang terkait dengan hak Allah maupun
hak manusia. Meskipun ketika melunasi hutang-hutangnya tersebut sampai
menghabiskan seluruh harta yang ditinggalkannya. [2]

Akan tetapi, jika harta si mayit tersebut tidak mencukupi untuk melunasi
hutang-hutangnya, maka apa yang harus dilakukan ?

[1]. Jika hutang-hutangnya berkaitan dengan hak manusia, maka dibolehkan
bagi wali mayit untuk meminta pengampunan dari para pemilik harta
hutang atas hutang-hutang si mayit kepada mereka, baik sebagian maupun
keseluruhan. Hal ini terisyaratkan dalam kisah yang dialami oleh Jabir
Radhiyallahu 'anhu ketika ayahnya terbunuh di medan perang Uhud,
sementara ia menanggung hutang. Dia meminta kepada para pemilik harta
hutang untuk membebaskan sebagian hutang ayahnya, tetapi mereka menolak
dan tetap berkeinginan untuk mengambil hak mereka. Akhirnya Jabir
Radhiyallahu 'anhu mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (dan
memintanya menyelesaikan masalah tersebut), maka Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam meminta kepada mereka agar mau meneriman kurma-kurma
yang ada di kebun Jabir Radhiyallahu 'anhu sebagai pembayarannya, dan
menghalalkan (membebaskan) sebagian hutang ayahnya, tetapi mereka
menolak. [Lihat Shahih Al-Bukahri, hadits 2395 dan 2405 - Fathul Bari]

Dari kisah diatas terdapat dalil, bahwa wali mayit boleh meminta kepada
para pemilik harta hutang untuk mebebaskan hutang-hutang si mayit. Dan
pemilik harta, boleh membebaskan sebagian atau seluruh hutang si mayit,
sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Baththal dan Ibnu Munayyir. [Lihat
Fathul Bari, 3/73]

Dan dari kisah diatas, juga terpahami bahwa bila si mayit tidak memiliki
harta yang cukup untuk melunasi hutang-hutangnya, maka dilunasi oleh
walinya, atau kerabatnya. Sebagaimana juga disebutkan dalam hadits yang
dituturkan Sa'ad bin Athwal Radhiyallahu 'anhu, ketika Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam mengatakan kepadanya.

"Artinya : Sesungguhnya saudaramu tertahan (ruhnya) karena hutangnya,
maka lunasilah hutangnya". Kemudian Sa'ad berkata, "Wahai Rasulullah.
Aku telah melunasi semuanya, kecuali dua dinar yang diakui oleh seorang
wanita, sementara dia tidak punya bukti". Maka Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam berkata, "Berilah dia, karena dia berhak" [Hadits Riwayat Ibnu
Majah, 2433, Ahmad 5/7 dan Al-Baihaqi 10/142. Dan dishahihkan oleh
Syaikh Al-Albani dalam shahih Ibnu Majah] [3]

[2]. Namun, jika tidak ada seorangpun dari keluarga atau kerabat mayit
yang bisa melunasi hutang-hutangnya, maka negara atau pemerintah yang
menanggung pelunasan hutangnya, [4] diambilkan dari Baitul Mal.

Dikatakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.sebagai pemimpin kaum
muslimin.

"Artinya : Aku lebih berhak menolong kaum Mukminin dari diri mereka
sendiri. Jika ada seseorabng dari kaum Mukminin yang meninggal, dan
meninggalkan hutang maka aku yang akan melunasinya." [Hadits Riwayat
Al-Bukhari 2298 -Fathul Bari- dan Muslim 1619 dari Abu Haurairah
Radhiyallahu 'anhu]

Maksud Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah, akan melunasinya dari
harta Baitul Mal, yang terdiri dari ghanimah (harta rampasan perang),
jizyah (dari orang kafir yang berada dalam naungan kaum Muslimin), infak
atau shadaqah serta zakat. [5]

Sebagiamana yang dipahami dari pekataan Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam kepada Jabir Radhiyallahu 'anhu (di saat ia tidak mampu melunasi
hutang-hutang ayahnya yang wafat dalam keadaan meninggalkan hutang).

"Artinya : Kalaulah telah datang harta (jizyah) dari Bahrain, niscaya
aku memberimu sekian dan sekian" [Hadits Riwayat Al-Bukahri 2296 -Fathul
Bari- dan Muslim 2314]

Dan jika negara atau pemerintah tidak menanggungnya, kemudian ada
diantara kaum Muslimin yang siap menanggungnya, maka hal itu dibolehkan
sebagaimana kandungan hadits Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahu 'anhu di
atas. Hal itu memberi pelajaran bahwa mayit dapat memperoleh dengan
dilunasinya hutang-hutangnya, meskipun oleh selain anaknya. Dengan
demikian berarti akan membebaskannya dari adzab. [6]

Berbeda halnya dengan shadaqah, karena si mayit bisa memperoleh manfaat
dan pahala dari shadaqah atas nama dirinya yang dilakukan oleh anaknya
saja. Sebab anak merupakan hasil usaha orang tua, sebagaimana dalam
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan bahwasanya, seorang manusia tiada memperoleh selain apa
yang telah diusahakannya" [An-Najm : 39]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Sesungguhnya, sebaik-baik yang dimakan oleh seseorang ialah
dari hasil usahanya sendiri. Dan anaknya, termasuk dari hasil usahanya"
[Hadits Riwayat Abu Dawud 3528, An-Nasa'i 4449 dan 4451, At-Tirmidzi
1358 -dengan lafazh jamak- Ibnu Majah 2137. Dan dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani dalam Shahih Al-Jami 2208 dan tahqiq Misykatul Mashabih 2770]
[7]

[3]. Jika hutang si mayit berkaitan dengan hak Allah seperti nadzar
haji, maka wajib ditunaikan oleh si mayit dengan harta si mayit bila
mencukupi. Sedangkan bila harta si mayit tidak mencukupi ketika
wafatnya, maka ditanggung oleh walinya yang akan menghajikan untuk si
mayit, sebagaimana kandungan dari hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu,
bahwa pernah ada seorang wanita dari bani Juhainah datang kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata :

"Artinya : Sesungguhnya ibuku telah bernadzar haji, tetapi belum berhaji
sampai meninggalnya, apakah aku harus menghajikan untuknya?" Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Ya, hajikanlah untuknya.
Bukankah jika ibumu menanggung hutang maka kamu yang akan melunasinya?
Tunaikanlah hak Allah, karena hak Allah lebih utama untuk ditunaikan"
[Hadits Riwayat Al-Bukhari 1852- Fathul Bari]

[4]. Jika ia memiliki hutang yang berkaitan dengan hak Allah dan hak
manusia, manakah yang lebih dahulu ditunaikan?

Dalam permasalahan ini, para ulama berbebda pendapat dalam tiga
kelompok.[8]

Pertama : Harta si mayit yang ada dibagikan untuk hutang-hutang tersebut
dengan masing-masing mendapat jatah bagian berdasarkan nisbah
(prosentase), seperti pada kejadian seorang yang mengalami kebangkrutan,
pailit (muflis), (yaitu) ketika dia menanggung hutang-hutang yang
melampaui harta miliknya. Ini adalah pendapat ulama madzhab Hambali.

Kedua : Diutamakan hutang-hutang yang berkait dengan hak manusia, dengan
mempertimbangkan oleh sifat asal manusia yang bakhil (tidak memaafkan).
Adapun hak Allah dibangun atas dasar sifat Allah yang suka memaafkan.
Ini adalah pendapat ulama madzhab Hanafi dan Maliki.

Ketiga : Yang benar adalah diutamakan hak Allah daripada hak manusia,
berdasarkan keumuman hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu di atas, yaitu
ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Tunaikan hak Allah, karena hak Allah lebih utama untuk
ditunaikan" [Hadits Riwayat Al-Bukhari 1852 -Fathul Bari-] [9]

Pendapat ketiga ini merupan pendapat ulama madzhab Syafi'i. Wallahu
a'lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
Diposting ulang dari: Milis Syiar Islam

Tuesday, October 5, 2010

Makna Sebuah Titipan


Sepertinya cocok yah sodara-sodara.. what d you think??
===============================


Makna Sebuah Titipan
By. alm. WS Rendra

Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,
bahwa :

sesungguhnya ini hanya titipan, 
bahwa mobilku hanya titipan Allah
bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya,
bahwa putraku hanya titipan Nya,

tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, 
mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?
Dan kalau bukan milikku,
apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?

Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu
diminta kembali oleh-Nya?

Ketika diminta kembali,
kusebut itu sebagai musibah
kusebut itu sebagai ujian,
kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan
bahwa itu adalah derita.

Ketika aku berdoa,
kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak popularitas,
dan kutolak sakit,
kutolak kemiskinan,
seolah semua “derita” adalah hukuman bagiku.

Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti
matematika:
aku rajin beribadah,
maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
dan nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang,
dan bukan kekasih.
Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku”,
dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,

Gusti, padahal tiap hari kuucapkan,
hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah…

“ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”

Sunday, October 3, 2010

Doa Memohon Perlindungan Allah Ta’ala Agar Tidak Tertimpa Musibah Yang Datang Tiba-tiba

'BISMILLAAHIL LADZII LAA YADLURRU MA'AS MIHI SYAI'UN FIL ARDLI WALA FIS SAMAA'WAHUWAS SAMII'UL 'ALIIM'
arti: Dengan nama Allah, dengan nama-Nya tidak akan berbahaya sesuatu yang ada di bumi maupun yang ada di langit, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui


Dibaca 3x di waktu pagi dan 3x di waktu sore...
Artikel ini aku tulis berkenaan dengan musibah KA Argo Bromo Anggrek jurusan Jakarta -> Surabaya yang menabrak KA Senja Utama, hari Sabtu, 2 Oktober 2010 | 02:30 WIB dini hari, yang menyebabkan tewasnya kurang lebih 34 penumpang KA Senja Utama Semarang...


Kenapa aku harus ikut suprihatin atas musibah itu? Yah.. kerna aku adalah pelanggan KA Argo baik Bromo Anggrek (untuk tujuan ke Semarang tarifnya lebih murah), Sindhoro, maupun Muria.
Dan yang di tabrak itu adalah KA Senja Utama di mana itu adalah KA langgananku dahulu kala...
Lebih lagi, banyaklah korban dari kota Semarang, tempat di mana aku tuju di kala mudik..


Rasanya gag percaya aja itu kereta mahal bolak balik kena musibah, kan beberapa minggu sebelomnya tuh Argo Anggrek anjok, eh sekarang nabrak.. Tapi entah ya yang anjlok waktu itu KA yg sama apa ga..


Mungkin emang ada baiknya sebelom aktipitas apa-apa.. doa yang di tulis di eramuslim itu ada gunanya buat sodara-sodara sekalian (Referensi dan bacaan lengkapnya langsung ke TKP ya gan...).
Who knows kan? Hari ini tertawa.. jam ini nelepon.. menit ini janji-janji.. lalu sedetik kemudian kita MATI... who knows..


referensi:
Eramuslim

Friday, October 1, 2010

Selingkuh

Oh my!
Sungguh kali ini kuterpana, inikah namanya cinta?

Aduhai...
Baru kali ini kutemui makhluk yang begitu mulia dan penuh cinta

Wow!
Pesona auramu membelenggu jiwaku
Tiada jernih lagi akalku memikirkanmu

Andaikan, aku lebih dahulu mengenalmu...
Misalnya, tiada penghalang bagiku tuk memilikimu seumur hidupku...
Umpama, ketulusan pengabdianmu ini tiada membuat hati seseorang menjadi terluka...
Jikalau, kupaksakan hasratku, kupenuhi segala tuntutanmu...

O la la...

Duhai Tuhanku...

Aku adalah hambaMu

Sungguh terasa berat menahan hasrat liarku

Tolonglah aku, jangan jauhkan dia dariku

Keindahannya tak dapat kulupakan

Kemanjaannya sungguh membuat terlena

Keceriaannya mengubah kelamnya dunia menjadi penuh warna

Dia adalah sebenar-benarnya makhlukMu, bagai bidadari penghuni surga

Oh my God!